MAKALAH ULUMUL QUR’AN (REVISI)
TAFSIR, TA’WIL, DAN TERJEMAH AL-QUR’AN
MAKALAH UNTUK MENYELESAIKAN TUGAS ULUMUL QUR’AN
Disusun oleh:
1.
Teddy
Agustria Wirantara (14520053)
2.
Yogi
Priansyah (14520061)
3.
Rico
Ridzalut Sani (14520044)
Dosen Pembimbing:
DRS. M. MUSRIN HM, M.Hum
Program Study:
Bimbingan Penyuluhan Islam ( BPIB )
PRODI BIMBINGAN PENYULUHAN ISLAM FAKULTAS DAKWAH &
KOMUNIKASI UIN RADEN FATAH PALEMBANG TAHUN AJARAN 2014/2015
KATA
PENGANTAR
Assalamu’alaikum
warahmatullahi wabarakatuh.
Alhamdulillahirabil’aalamiin
syukur kami ucapkan kepada Allah SWT. Atas rahmat serta karunia Allah SWT
sehingga kami dapat menyelesaikan tugas kami ini yang berjudul Tafsir, Ta’wil, dan Terjemah Al-Qur’an. Serta
shalawat beriring salam agar selalu tercurahkan kepada Rasul kita, yaitu Nabi
Muhammad SAW. Beserta para keluarga dan sahabat-sahabatnya hingga akhir zaman.
Kami
sangat berterima kasih kepada dosen pembimbing kami, Bapak DRS. M. MUSRIN HM,
M.Hum yang telah banyak memberikan arahan dan bimbingan kepada kami dalam
menyelesaikan tugas ini.
Akhir kata kami ucapkan terimakasih
kepada semua pihak yang telah membantu tersusunya tugas ini khususnya mahasiswa
BPIB. Semoga tugas ini bermanfaat bagi kita semua. Aamiin.
Wassalamu’alaikum
warahmatullahi wabarakatuh
Palembang, 10 Juni 2015
Penulis
DAFTAR
ISI
Kata Pengantar
...................................................................................................................
i
Daftar Isi
........................................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN
................................................................................................
iii
BAB II PEMBAHASAN
..................................................................................................
1
1. TAFSIR...............................................................................................................
1
2. TA’WIL...............................................................................................................
6
3. TERJEMAH........................................................................................................
8
4. PERBEDAAN TERJEMAH, TAFSIR, DAN TA’WIL....................................10
BAB III PENUTUP
..........................................................................................................11
DAFTAR PUSTAKA
.......................................................................................................12
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Al
Qur`an merupakan petunjuk bagi seluruh umat manusia. Di
samping itu, dalam ayat dan surat yang sama, diinformasikan juga bahwa al
Qur`an sekaligus menjadi penjelasan (bayyinaat) dari petunjuk tersebut sehingga
kemudian mampu menjadi pembeda (furqaan)-antara yang baik dan yang buruk. Di
sinilah manusia mendapatkan petunjuk dari al Qur`an. Manusia akan mengerjakan
yang baik dan akan meninggalkan yang buruk atas dasar pertimbangannya terhadap
petunjuk al Qur`an tersebut.
Al
Qur`an adalah kalaamullaah yang diturunkan kepada nabi Muhammad SAW. dengan
media malaikat Jibril as. Dalam fungsinya sebagai petunjuk, al Qur`an dijaga
keasliannya oleh Allah SWT. Salah satu hikmah dari penjagaan keaslian dan
kesucian Al- Qur`an tersebut adalah agar manusia mampu menjalani kehidupan di
dunia ini dengan benar-menurut Sang Pencipta Allah ‘azza wa jalla sehingga
kemudian selamat, baik di sini, di dunia ini dan di sana , di akhirat sana .
Bagaimana mungkin manusia dapat menjelajahi sebuah hutan belantara dengan
selamat dan tanpa tersesat apabila peta yang diberikan tidak digunakan,
didustakan, ataupun menggunakan peta yang jelas-jelas salah atau berasal dari
pihak yang tidak dapat dipercaya? Oleh karena itu, keaslian dan kebenaran al
Qur`an terdeterminasi dengan pertimbangan di atas agar manusia tidak tersesat
dalam mengarungi kehidupannya ini dan selamat dunia-akhirat.
Kemampuan
setiap orang dalam memahami lafald dan ungkapan Al Qur’an tidaklah sama,
padahal penjelasannya sedemikian gemilang dan ayat-ayatnya pun sedemikian
rinci. Perbedaan daya nalar diantara mereka ini adalah suatu hal yang tidak
dipertentangan lagi. Kalangan awam hanya dapat memahami makna-makna yang zahir
dan pengertian ayat-ayatnya secara global, sedangkan kalangan cendekiawan dan
terpelajar akan dapat mengumpulkan pula dari pandangan makna-makna yang
menarik. Dan diantara cendikiawan kelompok ini terdapat aneka ragam dan tingkat
pemahaman maka tidaklah mengherangkan jika Al-Qur’an mendapatkan perhatian
besar dari umatnya melalui pengkajian intensif terutama dalam rangka
menafsirkan kata-kata garib (aneh-ganjil) atau mentakwil tarkib (susunan
kalimat) dan menterjemahkannya kedalam bahasa yang mudah dipahami.
BAB II
PEMBAHASAN
1. TAFSIR.
A. Pengertian Tafsir.
Kata
“tafsir” diambil dari kata “fassara-yufassiru-tafsira”
yang berarti keterangan atau uraian.[1]
Dan secara bahasa, “tafsir” berarti “penjelasan, penyingkapan (yang
tersembunyi), menampakan makna yang logis”.[2] Tafsir
juga pada dasarnya, berdasarkan bahasa tidak akan lepas dari kandungan makna Al-idhah (menjelaskan), Al-bayan (menerangkan), Al-kasyf (mengungkapkan), Al-izhar (menampakkan), dan Al-ibanah (menjelaskan).
Sedangkan
secara istilah, pengertian “tafsir”, terdapat beberapa pendapat ahli, yakni:[3]
a.
Menurut
Al-Kilabi dalam At-Tashili:
Tafsir
adalah menjelaskan Al-Qur’an, menerangkan maknanya dan menjelaskan apa yang dikehendaki
dengan nashnya atau dengan isyaratnya atau tujuanya.
b.
Menurut
Syekh Al-Jazairi dalam Shahib At-Taujih:
Tafsir
pada hakekatnya adalah menjelaskan lafazh yang sukar dipahami oleh pendengar
dengan mengemukakan lafazh sinonimnya atau makna yang mendekatinya, atau dengan
jalan mengemukakan salah satu dilalah (petunjuk/menunjukan) lafazh tersebut.
c.
Menurut
Abu Hayyan:
Tafsir
adalah ilmu mengenai cara pengucapan lafazh-lafazh Al-Qur’an serta cara
mengungkapkan petunujuk, kandungan-kandungan hukum, dan makna makna yang
terkandung di dalamnya.
d.
Menurut
Az-Zarkasyi:
Tafsir
adalah ilmu yang digunakan untuk memahami dan menjelaskan makna-makna kitab
Allah yang diturunkan kepada Nabi-Nya, Muhammad SAW, seta menyimpulkan
kandungan-kandungan hukum dan hikmahnya.
Dari
beberapa uraian diatas dapat disimpulkan bahwa tafsir adalah suatu hasil usaha
tanggapan, penalaran, dan ijtihad manusia untuk menyingkap nilai-nilai samawi
yang terdapat di dalam Al-Qur’an.
B.
Macam-Macam
Tafsir.
Secara
umum tafsir dapat dibagi kedalam dua bagian, yaitu:
a.
Tafsir bi al-Ma’tsur (bi
al-Riwayah).
Tafsir
bi al-Ma’tsur (bi al-Riwayah) adalah suatu tafsir yang berasal dari Al-Qur’an
sunnah Nabi atau perkataan sahabat yang menjadi penjelasan bagi kehendak Allah
SWT. Jadi Tafsir bi al-Ma’tsur (bi al-Riwayah) pada dasarnya ialah suatu tafsir
yang didapatkan dari Al-Qur’an sendiri, atau dari sunnah Nabi (yang benar) atau
yang berasal dari perkataan sahabat r.a.
b.
Tafsir bil al-Ra’yi (bi
al-Dirayah).
Pengertian
Tafsir ini dikemukakan oleh al-Zahabi yakni:
“suatu ungkapan tentang tafsir
al-Qur’an dengan itjthad setelah seorang mufassir mengetahui percakapan orang
Arab dari berbagai seginya, mengetahui lafazh-lafazh bahasa Arab serta seluruh
sisi dalalatnya, dengan dibantu oleh syi’irsyi’ir Jahiliy mengetahui asbab
al-Nuzul, serta mengetahui al nasikh dan al mansukh dari ayat-ayat Al-Qur’an,
dan lain sebagainya dari persyaratan-persyaratan yang diperlukan oleh seorang
mufassir” (al-Zahabi, 1985: 246).
Dari
definisi diatas berarti Tafsir bil al-Ra’yi adalah suatu tafsir yang dilakukan
dengan ijtihad dari seorang mufasir yang mempunyai pengetahuan luas dalam
bidang bahasa Arab maupun ilmu agama serta memiliki persyaratan-persyaratan
yang diperlukan oleh seorang mufassir.
C.
Metode-Metode
Dalam Tafsir.
Adapun
metode-metode dalam penafsiran Al-Qur’an di bagi menjadi 4, yaitu:[4]
a.
Metode
ijmali (global).
1. Pengertian
Yang dimaksud dengan metode al-Tafsir al-Ijmali (global) ialah
suatu metoda tafsir yang menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an dengan cara mengemukakan
makna global. Pengertian tersebut menjelaskan ayat-ayat Al-Qur’an secara
ringkas tapi mencakup dengan bahasa yang populer, mudah dimengerti dan enak
dibaca. Sistematika penulisannya menurut susunan ayat-ayat di dalam mushhaf. Di
samping itu penyajiannya tidak terlalu jauh dari gaya bahasa AL-Qur’an sehingga
pendengar dan pembacanya seakan-akan masih tetap mendengar Al-Qur’an padahal
yang didengarnya itu tafsirnya.
2. Ciri-ciri Metode Ijmali
Dalam metode ijmali seorang mufasir langsung menafsirkan Al-Qur’an
dari awal sampai akhir tanpa perbandingan dan penetapan judul. Di dalam metode
global, tidak ada ruang bagi mufasir untuk mengemukakan pendapat serupa itu.
Itulah sebabnya kitab-kitab Tafsir Ijmali tidak memberikan penafsiran secara
rinci, tapi ringkas dan umum sehingga seakan-akan kita masih membaca Al-Qur’an
padahal yang dibaca tersebut adalah tafsirnya; namun pada ayat-ayat tertentu
diberikan juga penafsiran yang agak luas.
b. Metode
Tahliliy (Analisis)
1.
Pengertian
Yang dimaksud dengan Metode Tahliliy (Analisis) ialah menafsirkan
ayat-ayat Al-Qur’an dengan memaparkan segala aspek yang terkandung di dalam
ayat-ayat yang ditafsirkan itu serta menerangkan makna-makna yang tercakup di
dalamnya, sesuai dengan keahlian dan kecenderungan mufasir yang menafsirkan
ayat-ayat tersebut.
2.
Ciri-ciri
Metode Tahlili
Pola penafsiran yang diterapkan para penafsir yang menggunakan
metode tahlili terlihat jelas bahwa mereka berusaha menjelaskan makna yang
terkandung di dalam ayat-ayat Al-Qur’an secara komprehenshif dan menyeluruh,
baik yang berbentuk al-ma’tsur, maupun al-ra’y, sebagaimana. Dalam penafsiran
tersebut, Al-Qur’an ditafsirkan ayat demi ayat dan surat demi surat secara
berurutan, serta tak ketinggalan menerangkan asbab al-nuzuldari ayat-ayat yang
ditafsirkan.
c. Metode
Muqarin (Komparatif).
1.
Pengertian
Pengertian metode muqarin (komparatif) dapat dirangkum sebagai
berikut :
a. Membandingkan teks (nash) ayat-ayat
Al-Qur’an yang memiliki persamaan atau kemiripan redaksi dalam dua kasus atau
lebih, dan atau memiliki redaksi yang berbeda bagi satu kasus yang sama;
b. Membandingkan ayat Al-Qur’an dengan Hadits
Nabi SAW, yang pada lahirnya terlihat bertentangan;
c. Membandingkan berbagai pendapat ulama’
tafsir dalam menafsirkan Al-Qur’an.
Jadi dilihat dari pengertian tersebut dapat dikelompokkan 3 objek
kajian tafsir, yaitu:
1.
Membandingkan
ayat Al-Qur’an dengan ayat Al-Qur’an yang lain;
2.
Membandingkan
ayat dengan Hadits.
3.
Membandingkan
pendapat para mufasir.
2.
Ciri-ciri
Metode Muqarin
Perbandingan adalah ciri utama bagi Metode Komparatif. Disini
letak salah satu perbedaan yang prinsipil antara metode ini dengan
metode-metode lain. Hal ini disebabkan karena yang dijadikan bahan dalam
memperbandingkan ayat dengan ayat atau ayat dengan hadits, adalah pendapat para
ulama tersebut dan bahkan dalam aspek yang ketiga. Oleh sebab itu jika suatu
penafsiran dilakukan tanpa membandingkan berbagai pendapat yang dikemukakan
oleh para ahli tafsir, maka pola semacam itu tidak dapat disebut “metode
muqarrin”.
d.
Metode Mawdhu’iy (Tematik).
1.
Pengertian
Yang dimaksud dengan metode mawdhu’iy ialah membahas ayat-ayat
Al-Quran sesuai dengan tema atau judul yang telah ditetapkan. Semua ayat yang
berkaitan, dihimpun. Kemudian dikahi secara mendalam dan tuntas dari berbagai
aspek yang terkait dengannya seperti asbab al-nuzul, kosa kata dan sebagainya.
Semuanya dijelaskan secara rinci dan tuntas, serta didukung oleh dalil-dalil
atau fakta yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah; baik argumen itu
berasal dari Al-Qur’an dan Hadits, maupun pemikiran rasional.
2.
Ciri-ciri
Metode Mawdhu’iy
Yang menjadi ciri utama metode ini ialah menonjolkan tema, judul
atau topik pembahasan; sehingga tidak salah bila di katakan bahwa metode ini
juga disebut metode “topikal”. Jadi mufasir mencari tema-tema atau topik-topik
yang ada si tengah masyarakat atau berasal dari Al-Qur’an itu sendiri, ataupun
dari yang lain. Kemudian tema-tema yang sudah dipilih itu dikaji secara tuntas
dan menyeluruh dari berbagai aspek, sesuai dengan kapasitas atau petunjuk yang
termuat di dalam ayat-ayat yang ditafsirkan tersebut. Artinya penafsiran yang
diberikan tak boleh jauh dari pemahaman ayat-ayat Al-Qur’an, agar tidak
terkesan penafsiran tersebut berangkat dari pemikiran atau terkaan belaka
(al-Ra’y al-Mahdh).
Sementara itu Prof. Dr. Abdul Hay Al-Farmawy seorang guru besar pada Fakultas Ushuluddin Al-Azhar,
dalam bukunya Al-Bidayah fi Al-Tafsir Al-Mawdhu’i mengemukakan secara rinci
langkah-langkah yang hendak ditempuh untuk menerapkan metode mawdhu’i. Langkah-langkah
tersebut adalah :
a.
Menetapkan
masalah yang akan dibahas (topik);
b.
Menghimpun
ayat-ayat yang berkaitan dengan masalah tersebut;
c.
Menyusun
runtutan ayat sesuai dengan masa turunnya, disertai pengetahuan tentang asbab
al-nuzulnya;
d.
Memahami
korelasi ayat-ayat tersebut dalam surahnya masing-masing;
e.
Menyusun
pembahasan dalam kerangka yang sempurna (out-line);
f.
Melengkapi
pembahasan dengan hadits-hadits yang relevan dengan pokok bahasan;
g.
Mempelajari
ayat-ayat tersebut secara keseluruhan dengan jalan menghimpun ayat-ayatnya yang
mempunyai pengertian yang sama, atau mengkompromikan antara yang ‘am (umum) dan
yang khas (khusus), mutlak danmuqayyad (terikat), atau yang pada lahirnya
bertentangan, sehingga kesemuanya bertemu dalam satu muara, tanpa perdebatan
atau pemaksaan.
D.
Syarat-Syarat
Menjadi Mufassir (Ahli Tafsir).
Beberapa
syarat menjadi ahli tafsir ( mufassir )antara lain :
- Memiliki akidah yang bersih
- Tidak mengikuti hawa nafsu
- Ahli
tafsir ( Mufassir ) memahami ushul at-tafsir
- Cerdas dalam ilmu riwayat dan
dirayah hadits
- Mufassir memahami ushuluddin
- Ahli tafsir ( Mufassir )
mengerti ushul fiqh
- Menguasai bahasa arab dan
ilmunya
Para ulama salaf senantiasa berhati-hati dalam
menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an, maka dengan syarat ketat tersebut diharapkan
sebagai media untuk mengetahui pengertian dan kekhususan susunan kalimat serta
mengetahui bentuk bentuk kemukjizatan Al-Qur’an.[5]
2.
TA’WIL.
A.
Pengertian
Takwil.
Tak’il
menurut lughat adalah menerangkan, menjelaskan. Diambil dari kata “awwala-yu’awwilu-takwilan.” Al-Qaththan
dan Al-Jurjani berpendapat bahwa arti ta’wil menurut lughat adalah “al-ruju’ ila Al-ashl“ (berarti kembali
pada pokoknya). Sedangkan menurut Az-Zarqani berpendapat secara bahasa adalah
sama dengan arti tafsir.
Adapun
menurtut istilah, ada banyak para ahli yang berpendapat, antara lain:
a.
Menurut
Al-Jurzani:
Memalingkan
suatu lafazh dari makna lahirnya terhadap makna yang dikandungnya, apabila
makna alternatif yang dipandangnya sesuai dengan ketentuan Al-kitab dan
As-sunnah.
b.
Menurut
Definisi Lain:
Takwil
ialah mengembalikan sesuatu ghayahnya (tujuanya), yakni menerangkan apa yang
dimaksud.
c.
Menurut
Ulama Salaf:
1. “Menafsirkan dan menjelaskan makna
suatu ungkapan, baik bersesuai dengan makna lahirnya ataupun bertentangan.” Definisi
takwil seperti ini sama dengan definisi tafsir.
2. “Hakikat sebenarnya yang
dikehendaki suatu ungkapan.”
d.
Menurut
Ulama Khalaf:
Mengalihkan
suatu lafazh dari maknanya yang rajih pada makna yang marjuh karena ada
indikasi untuk itu.
Dari
beberapa pendapat para ahli diatas dapat di simpulkan bahwa pengertian takwil
secara istilah adalah suatu usaha untuk memahami lafazh-lafazh (ayat-ayat)
Al-Qur’an melalui pendekatan memahami arti atau maksud sebagai kandungan dari
lafazh itu. Dengan kata lain, takwil berarti mengartikan lafazh dengan beberapa
alternatif kandungan makna yang bukan makna lahiriyah, bahkan penggunaan secara
masyhur kadang-kadang diidentikan dengan tafsir.[6]
B.
Syarat-Syarat
Ta’wil.
Adapun
syarat-syarat ta’wil adalah :
1. Lafaz
itu dapat menerima ta’wil seperti lafaz zhabir (menunjukkan maksud) dan lafaz
hash (menunjukan makna) serta tidak berlaku untuk muhkam dan mufassar.
2. Lafaz
itu mengandung kemungkinan untuk di-ta’wil-kan karena lafaz tersebut memiliki
jangkauan yang luas dan dapat diartikan untuk di-ta’wail. Serta tidak asing
dengan pengalihan kepada makna lain tersebut.
3. Ada
hal-hal yang mendorong untuk ta’wil seperti :
a. Bentuk
lahir lafaz berlawanan dengan kaidah yang berlaku dan diketahui secara dharuri,
atau berlawanan dengan dahlil yang lebih tinggi dari dahlil itu.Contohnya:
suatu hadis menyalahi maksud hadis yang lain, sedangkan hadis itu ada
kemungkinan untuk di ta’wil kan, maka hadis itu di ta’wil kan saja ketimbang
ditolak sama sekali.
b. Nash
itu menyalahi dalil lain yang lebih kuat dilalah-nya.Contohnya: suatu lafaz
dalam bentuk zhabir diperuntukan untuk suatu objek, tetapi ada makna
menyalahinya dalam bentuk nash.
c. Lafaz
itu merupakan suatu nash untuk suatu objek tetapi menyalahi lafaz lain yang
mufassar.
Dalam semua bentuk itu
berlakulah ta’wil.
4. Ta’wil
itu harus mempunyai sandaran kepada dahlil dan tidak bertentangan dengan dahlil
yang ada.[7]
3.
TERJEMAH.
A.
Pengertian
Terjemah.
Menurut
bahasa terjemah adalah salinan dari suatu bahasa ke bahasa lain.[8]
Atau berarti mengganti, menyalin memindahkan kalimat dari suatu bahasa ke
bahasa lain. Sedangkan menurut Ash-Shabuni, terjemah Al-Qur’an adalah :
“Memindahkan Al-Qur’an kepada
bahasa lain yang bukan bahasa Arab dan mencetak terjemah ini kedalam beberapa naskah
agar dibaca orang yang tidak mengerti bahasa Arab sehingga ia dapat memahami kitab
Allah SWT. Dengan perantaraan terjemahan ini.”[9]
B.
Macam-Macam
Terjemah.
Pada
dasarnya ada tiga penerjemahan, yaitu:
a. Terjemah
maknawiyyah tafsiriyyah, adalah
menerangkan makna atau kalimat dan mensyarahkanya, tidak terikat oleh
leterlek-nya, melainkan oleh makna dan tujuan kalimat aslinya. Terjemah semacam
ini (dengan corak lain) sinonim dengan tafsir.
b. Terjemah
harfiyah bi Al-mitsli, yaitu menyalin
atau mengganti kata-kata dari bahasa asli dengan kata-kata sinonimnya (muradif)-nya ke dalam bahasa baru dan
terikat oleh bahasa aslinya.
c. Terjemah
harfiyah bi dzuni Al-mistli, yaitu
menyalin atau mengganti kata-kata bahasa asli kedalam bahasa lain dengan
memerhatikan urutan makna dan segi sastranya, menurut kemampuan bahasa baru itu
dan sejauh kemampuan penerjemahnya.
C.
Syarat-Syarat
Penterjemah.
a. Penterjemah
haruslah bersifat jujur dalam kegiatanya.
b. Mempunyai
kemampuan yang sama terhadap kedua bahasa dalam hal kosa kata, kaedah-kaedah
dan rasa bahasa.
c. Mendalami
dan menguasai uslub-uslub dan
keistimewaan-keistimewaan bahasa yang diterjemahkan.
d. Hendaknya
sighat (bentuk) terjemah itu benar
dan apabila dituangkan kembali ke dalam bahasa aslinya tidak terdapat
kesalahan.
e. Terjemahan
itu harus dapat mewakili semua arti dan maksud bahasa asli dengan lengkap dan
sempurna.
f. Penterjemah
haruslah mempunyai ilmu pengetahuan agama dan umum yang luas (persyaratanya
mendekati persyaratan seorang musafir).
D.
Manfaat
atau Faedah Terjemah.
a. Dapat
menyingkap tabir tentang Islam bagi mereka yang tidak mengerti bahasa Arab.
b. Menghilangkan
rasa ragu terhadap persoalan agama.
c. Memberikan
penerangan agama bagi non muslim.
d. Menghilangkan
tabir penghalan yang dibuat-buat.
E.
Hukum
Menterjemahkan Al-Qur’an.
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya,
dapat dismpulkan bahwa dari hasil terjemah harfiyah, jelas bahwa hukumnya
haram. Karena selain bisa mengaburkan makna yang semestinya, juga tidak bisa
dipahami.
Sedangkan terjemahan maknawiyah, jelas
terjemahan ini banyak dilakukan, guna penyebaran agama Islam, dan banyak
memberikan manfaat bagi umat Islam lainya. Maka hukumnya fardhu kifayah, bahkan
fardhu ‘ain bagi seorang ulama yang ditokohkan.[10]
4.
PERBEDAAN
TERJEMAH, TAFSIR, DAN TA’WIL.
Adapun
perbedaan antara tafsir, terjemah, dan
ta’wil, adalah sebagai berikut:
a. Terjemah
lepas dari bahasa semula. sedangkan tafsir dan ta’wil kadang-kadang masih dalam
bahasa semula.
b. Terjemah
tidak memberikan uraian yang lebih dari pokok bahasa, sedangkan tafsir banyak
memberikan pokok-pokok bahasan, demikian juga Ta’wil.
c. Terjemah
hanya dapat menampung salah satu dari indikasi yang termuat dalam suku kata
atau ayat, sedangkan tafsir sebaliknya.
d. Terjemah
hanya memuat pengertian yang umum tidak terperinci sebagaimana dalam tafsir.
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Al-Qur`an
sebagai ”hudan-linnas” dan “hudan-lilmuttaqin”, maka untuk memahami kandungan
al-Qur`an agar mudah diterapkan dalam pengamalan hidup sehari-hari memerlukan
pengetahuan dalam mengetahui arti/maknanya, ta`wil, dan tafsirnya sesuai dengan
yang dicontohkan Rasulullah SAW. Sehingga kehendak tujuan ayat al-Qur`an
tersebut tepat sasarannya.
Terjemah,
tafisr, dan ta`wil diperlukan dalam memahami isi kandungan ayat-ayat al-Qur`an
yang mulia. Pengertian terjemah lebih simple dan ringkas karena hanya merubah
arti dari bahasa yang satu ke bahasa yang lainnya. Sedangkan istilah tafsir
lebih luas dari kata terjemah dan ta’wil , dimana segala sesuatu yang
berhubungan dengan ayat, surat, asbaabun nuzul, dan lain sebagainya dibahas
dalam tafsir yang bertujuan untuk memberikan kepahaman isi ayat atau surat
tersebut, sehingga mengetahui maksud dan kehendak firman-firman Allah SWT
tersebut.
B. Saran
Demikianlah
makalah yang kami berisikan tentang tafsir, ta’wil dan terjemah. Makalah inipun
tak luput dari kesalahan dan kekurangan maupun target yang ingin dicapai.
Adapun kiranya terdapat kritik, saran maupun teguran digunakan sebagai
penunjang pada makalah ini. Sebelum dan sesudahnya kami ucapkan terima kasih.
DAFTAR PUSTAKA
·
Rosihon Anwar, Ulum Al-quran. Bandung, Pustaka Setia. 2012.
·
Isa Anshori Muta’al, Ulumul Qur’an. Palembang, IAIN Raden
Fatah Press. 2003.
·
Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta,
Balai Pustaka.1984.
·
Mohammad Ali Ash-Shabuni, At-Tibyan fi’Ulum Al-Qur’an. Damaskus,
Al-Ghazali. 1390.
·
Muiz Kabry, Syarat Menjadi Seorang Mufassir.
http://al-badar.net/syarat-dan-etika-menjadi-ahli-tafsir-mufassir.
html.
·
https//bambies.wordpress.com/2013/04/23/http.
[1]Rosihon
Anwar, Ulum Al-quran. Bandung:
Pustaka Setia. 2012. Hal. 209
[2]Isa
Anshori Muta’al, Ulumul Qur’an. Palembang:
IAIN Raden Fatah Press. 2003. Hal. 81
[3]
Rosihon Anwar, Ulum Al-quran. Op. Cit.
[4]
The Singn, macam-macam tafsir. https//bambies.wordpress.com/2013/04/23/http.
[5] Muiz Kabry, Syarat Menjadi Seorang Mufassir.
http://al-badar.net/syarat-dan-etika-menjadi-ahli-tafsir-mufassir. html.
[6]
Rosihon Anwar, Ulum Al-quran. Op. Cit. Hal.
212
[8]Poerwadarminta,
Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta:
Balai Pustaka.1984. hal.1062.
[9]Mohammad
Ali Ash-Shabuni, At-Tibyan fi’Ulum
Al-Qur’an, Damaskus: Al-Ghazali. 1390, Hal.277
[10]
Isa Anshori Muta’al,Loc. Cit. Hal. 85